
aku masih ingat saat pertama mengenal matamu,
ada bingkai nanar yang membius keliaran ku.
begitu segar di ingatanku akan teriakanmu,
bahasa pertamamu pun seperti ayat-ayat suci meneduhkan kebusukan ku,
kau memang istimewa,
tapi apakah pantas ?
kini, entah apa yang akan terjadi dengan diri kita
apakah berlebihan bila ku analogikan bahwa separuh kaki kita berada di atas jurang sekarang
seakan bisa saja besok pagi kita terpisah di lembah sana
mencari peta sendiri, tanpa lagi kebersamaan.
menikmati kesunyian dan kesuraman hati di tengah keramaian
benar katamu, tidak ada yang bisa kita selamatkan
rumah kita telah mejadi puing-puing lapuk
kosong tanpa ruh.
jendela hangat yang biasa kita seduh tiap pagi berdua
adalah fatamorgana...
mengapa kesendirian begitu menakutkan jiwaku ?
mengapa aku begitu merasa takut sekali ?
apakah aku terupa ?
padahal semua yang tercipta ini berawal dan akan berakhir dalam kesendirian.
namun entah mengapa,
kesendirian menjelma kesunyian kelam yang menjadi momok di pikiran kecilku.